Sebuah
Catatan Untuk Buku Tidur Berbantal Koran.
Saya penasaran ketika mendengar kabar dari media sosial bahwa sahabatku N.
Mursidi baru saja me-launching buku perdananya “Tidur Berbantal Koran”. Saya
sendiri memang tidak pernah bertemu langsung dengan dia. Persahabatan yang kami
jalin hanya melalui media sosial facebook dan twitter. Rasa penasaran saya
untuk membeli buku tersebut semakin memuncah kala sahabatku Subro mengirim
pesan lewat kronologi di Facebook. Katanya “Bukunya sangat menginspirasi”. Tanpa berpikir
panjang aku meminta seseorang segera
memburu buku itu ke Gramedia Ayani Mall.
Alhasil, buku itu aku dapatkan dan aku berencana melahap buku itu hanya
dalam tempo semalam. Karena saya melihat buku Tidur Berbantal Koran tidaklah
begitu tebal selayaknya novel- novel yang lain.
Setelah solat isya’ berjamaah sayapun mulai membuka lembaran buku itu. Mata
saya langsung tertuju pada lembaran pendahuluan. Kalimat demi kalimat saya
nikmati, hingga ketika saya sudah masuk pada bagian III (aku, buku dan koran)
aku mendegar suara ibuku dari kamar sebelah merintih kesakitan. Akupun segera
beranjak dari kasur dan menghampiri ibu. Sekujur tubuhnya diselimuti dua lapis
selimut tebal, matanya menatap langit-langit
kamar. Tubuhnya panas seperti terbakar api ketika aku menyentuhnya. Aku
berteriak minta bantuan portolongan kerumah paman yang berada disamping
rumahku. Seluruh isi rumah berhamburan keluar menghampiriku yang panik seperti
anak ayam kehilangan induknya.
Paman langsung mengeluarkan becaknya untuk segera mambawa ibu kerumah
sakit. Bibi serta anak-anak nya menghampiri ibu yang merintih kesakitan. Saya
sendiri masuk ke kamar untuk membongkar celenganku untuk saya bawa kerumah
sakit.
Dalam perjalanan diatas becak, Ibuku menolak dibawa ke rumah sakit, Ia
hanya meminta untuk dibawa ke klinik saja. Saya tahu mengapa ibu menolak untuk
dibawa kerumah sakit? Setelah lulus kuliah saya hanya bekerja paruh waktu pada
lembaga mikro finance . ibu pasti berpikir uang saya tidak akan cukup
untuk biaya rumah sakit. Tapi aku tetap bersikeras, bahwa ibu harus dibawa
kerumah sakit. “Uang Saya cukup untuk biaya rumah sakit” kataku menatap mata
ibu dalam- dalam. Tetapi ibu tetap menolak. Saya pun mengikuti apa kata Ibu.
Yang penting beliau mau berobat.
Setelah kurang lebih 20 menit di periksa oleh dokter. Ibuku di vonis sakit
types. Kata dokter “Ibu Kamu kelelahan, kurang istirahat dan makannya sering
terlambat.” Dokter membolehkan ibu dirawat dirumah dengan catatan tidak boleh
banyak bergerak. Dan meminum obat tepat waktu dan tuntas.
Sayapun melewati hari itu sebagaimana seorang suster. Menyiapkan makanan,
obat hingga mencucikan baju-baju ibu yang kotor.
Dua berselang, keadaan ibu sudah mulai membaik. Saya menghampiri buku Tidur
Berbantal Koran yang sudah 2 hari aku tinggal. Saya Merasa kehilangan dengan
apa yang sudah saya baca. Saya memulai lagi membaca lembaran buku itu dari
awal. Dengan pelan jari saya mulai membuka lembaran buku sambil duduk bersandar
di pintu kamar. Jari saya tiba-tiba
terhenti ketika mataku melilhat lembaran ketiga. Dalam lembaran itu tertulis.
Buku ini aku persembahkan untuk ibunda, Masmiah :
sosok wanita tangguh yang tak perlu membaca buku ini
-
Karena kisah ini
adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau.
Airmata saya serasa tak mampu dibendung. Membaca lembaran yang terlewatkan
beberapa hari yang lalu itu. Jari telunjuk saya tak mampu membuka
lembaran-lembaran berikutnya. Aku tertunduk dibelakang pintu dengan air mata
yang bercucuran.
Sudah satu tahun saya menjadi penulis cerpen. Tiap minggu saya menulis
cerpen dengan genre “rekonsiliasi” pada sebuah koran lokal tanpa sebuah
bayaran. Cerpen itu saya dedikasikan
untuk sebuah rekonsiliasi di Kalbar. Tapi saya jarang untuk menulis
cerpen dengan kisah perjuangan seorang ibu. Seingatku hanya sekali menulis
tentang ibu. Saya lupa menjadikan Ibu sebagai sumber inspirasiku. Saya baru
sadar bahwa kertas ini tidak akan cukup untuk mengurai jerih payah beliau.
Terima kasih untuk N. Mursidi yang telah menyadarkan saya lewat buku nya.
Putri Dara Hitam, 31 Maret 2013