Foto Internet |
(Cerpen ini dimuat di Harian Borneo Tirune Edisi Sabtu, 2 Maret 2013) Sinar matahari yang menerabas masuk melalui sela-sela jendela kamar kostku, membuat aku terbangun dari tidurku. Aku menggeliat, menyingkap selimut yang menutupi separuh tubuhku. disebelah kiri istriku masih tertidur dengan pulas. Meskipun aku tidak membelikan kasur baru sebagai hantaran pernikahan, Ia tetap menjadi istri yang baik dengan setia menemaniku tidur beralaskan tikar karpet. Ia tampak cantik dengan baju tidur warna pink kesukaanya. Aku mencium keningnya lalu membelai rambutnya yang panjang. Matanya berkedip-kedip dan dengan rasa malas ia menarik selimutku. Dia terlihat kelelahan setelah menyerahkan dirinya menjadi lempung ditangan seorang pematung selama separuh malam.
Aku beranjak dari tempat tidur
dan membuka jendela lebar-lebar. Dari kejauhan beberapa ibu-ibu yang tinggal
disekitar tempat aku ngekost membawa jinjingan plastik, menandakan bahwa mereka baru saja pulang dari
pasar.
Aku melirik ke arah timur.
Matahari sudah mulai meninggi. Fajar yang merekah sudah berlalu. Suara azan
subuh yang biasanya menggetarkan kalbu tidak terdengar oleh gendang telingaku.
Syahdunya pagi dan semesta alam yang bertasbih tidak dirasakan oleh
syaraf-syaraf jiwaku. Aku termenung, mataku menerawang jauh kelangit biru.
Mencoba mengumpulkan kembali ingatanku kapan terakhir kalinya aku solat subuh?
Rasanya Sudah satu bulan lebih aku melewatkan solat subuh. Terakhir kalinya
solat subuh saat aku tinggal dirumah mertuaku, Mekar Sekuntum.
Kedua mertuaku sudah terbiasa
bangun dari tidurnya sebelum azan subuh berkumandang. Solawat tarhim yang
diputar dari corong masjid yang terletak di belakang rumah membuat penduduk
Desa Mekar Sekuntum beranjak dari tempat tidurnya. Seluruh penghuni rumah solat
subuh di masjid. Bahkan Jika hari
jum’at, Seusai solat subuh kedua mertuaku tidak beranjak diatas sajadahnya
sebelum fajar datang. Mereka setia menanti fajar merekah, menguning keemasan di
ufuk timur. Takbir solat sunnah fajar menjadi puncak ibadah pagi kami. Suasana
menanti fajar itu terasa nikmat didalam batinku.
Sayang, Aku dan isteriku tidak
bisa tinggal lama disana. Kami berdua sepakat memutuskan untuk tinggal di Kota
Tugu dengan ngekost, hidup mandiri
setelah 7 hari dari pernikahan kami. Sebetulnya mertuaku tidak mengizinkan kami
untuk keluar dari rumah. Sebagai anak perempuan satu-satunya dikeluarganya ,
isteriku menjadi harapan kedua orang tuanya untuk merawat mereka kelak dimasa
tuanya. Namun demi keamanan dan keberlangsungan hidup kami, kami hanya bisa
tinggal selama tujuh hari disana.
Beberapa orang di kampung
mertuaku masih belum menerima kehadiran aku. Terlahir sebagai etnis keturunan Madani membuat
sebagian warga membenci kehadiranku di Mekar Sekuntum. Mereka masih mengecap
etnisku sebagai etnis yang suka berkelahi.
“Maaf nak Ismet, setelah mengetahui nak Ismet masih
keturunan etnis Madani. sebagian orang masih belum bisa menerima kehadiran mu
disini. Demi keselamatanmu, saran Ketua Adat sama bapak; Nak Ismet disuruh
hijrah dulu dari rumah.” Ucap mertua laki-lakiku dengan mata berkaca-kaca.
Aku sendiri bisa memakluminya,
peristiwa berdarah di tahun 99 memang menyisakan trauma yang mendalam. Dua
generasi rasanya belum cukup untuk menghapus perasaan benci dan saling curiga. Butiran-butiran
debu dendam masih belum bisa terhapus
oleh tetesan embun di pagi hari. Pesan agama yang disampaikan oleh ulama bahwa
kita bersaudara hanya sebatas teks yang dibaca nyaring dari mimbar masjid. Umara’
belum bisa menjamin keamanan warga keturunan Madani yang ingin kembali ketanah
rantau nenek moyangnya. Rekonsiliasi alami adalah satu-satunya solusi dari
setiap pertemuan yang difasilitasi oleh umara’ tingkat desa hingga tingkat
pusat.
***
“Bang, Tadi malam ibuku nelpon. Katanya bapak sakit. Besok
pagi aku ingin pulang nengok bapak. Bolehkan? “ Kata isteriku pada suatu malam.
“Boleh. Kita pulang sama-sama”
“Jangan bang. Abang disini saja. Aku khawatir jika abang
ikut ke rumah. Aku harap abang mengerti situasi disana.” Pinta isteriku seraya
memegang perutnya yang mulai buncit.
Pagi itu
isteriku membangunkan aku dari tidurku. Suara azan subuh berkumandang ketika
aku terbangun. Aku melihat Isteriku sudah mengenakan mukena. Aku segera bergegas ke kamar mandi mengambil
wudhu’.
Langit di ufuk timur mulai
berwarna kuning keemasan. Sebentar lagi fajar merekah. Aku mengantar isteriku
ke halte bis Tanjung Mas. Kernet bis langsung menaikkan tas isteriku kedalam
bagasi. “Hati-hati dijalan ya. Salam untuk bapak sama ibu”. Kataku sambil
mengusap kepala isteriku. Isteriku mengangguk lalu mencium tanganku dengan
takzim. Berlalu meninggalkan aku dan beberapa orang pengantar lainnya di halte. Dalam hati aku berkata “suatu saat
kita akan tinggal disana. Menanti fajar bersama di bumi rantau nenek moyangku.”
Pontianak, 13
Januari 2013