Cerpen Karya : Abdul Hamid
Lukisan Gus Mus |
“Jika hidupmu ingin bahagia, jangan jadi pemuja daging”. Aku termenung diatas awan meresapi pesan Kiai
Mustofa.
Siang itu pesawat Boing 737 seri
400 yang aku tumpangi dari Supadio mendarat Bandara Internasional Monas dengan selamat. Cuaca sangat cerah selama satu
jam lebih penerbangan. Aku bernafas dengan lega setelah turun dari pesawat.
Akhirnya, sampai juga aku di Ibukota Negara yang selama bertahun-tahun aku hanya
bisa melihat dari tayangan televisi ukuran 14 inc di rumahku.
Beberapa orang turun dari pesawat
dengan gagah. Kacamata diatas jidat dan tas derek menambah kesan kemewahan. Berbeda
dengan penumpang yang turun dari kapal. Wajahnya lesu, pucat dan sempoyongan
karena terombang-ambing oleh gelombang di lautan. Aku mencoba mengikuti gaya
mereka berjalan tegak dengan dada sedikit membusung kedepan memasuki terminal
kedatangan di bandara Monas. Konon, bandara
ini adalah bandara tersibuk di negeriku.
Kota Monas memang tidak pernah sepi dari pendatang. Setiap
tahunnya selalu ada pendatang baru yang datang untuk merubah nasib. Tidak terkecuali
aku, yang sama-sama datang ke Ibukota untuk mencoba peruntungan. Barangkali nasib
baik membawaku menjadi orang sukses seperti selebriti yang banyak di idolakan
orang-orang di kampung Madani.
Memang, yang datang ke Kota Monas
tidak semuanya bisa beruntung. Beberapa anak muda dikampungku malah pulang
dengan membawa hutang. Bahkan ada yang harus menjual tanahnya dikampung agar bisa
pulang kembali. Kata mereka yang gagal mengadu nasib “Monas lebih kejam dari
ibu tiri”.
Beberapa hari sebelum aku
berangkat, guru ngajiku Kiai Mustofa sampai datang kerumah. Dia menasihati aku
di depan Ibuku. “Hati-hati tinggal di Kota Monas, disana itu banyak orang jadi
pemuja daging.” Kata kiaiku dengan suara lembut. “Kok jadi pemuja daging kiai?” Tanya ibuku
yang tidak mengerti dengan maksud perkataan kiai ku. Kiai Mustofa sering
menggunakan bahasa kiasan dalam menyampaikan pesan agama kepada warga dengan
halus.
“ Iya, Hampir setiap hari hanya
daging yang dipertontonkan oleh orang- orang disana. Orang-orang yang jelas korupsi dan sudah ditetapkan jadi
tersangka. Malah berpidato dengan gagah didepan publik. Dan orang-orang rela
berdemo mendukung koruptor demi sesuap daging. Celakanya lagi, Perempuan perempuanya banyak pamir syahwat di
TV dan orang bilang itu seksi.” Terang Kiai Mustofa kepada ibu. Ia berhenti
sejenak untuk meminum kopi, kemudian Ia menyulut sebatang rokok sebelum
melanjutkan perkataanya. “Jadi, kebanyakan orang-orang di Kota Monas, memuja
daging terlalu berlebihan. Agama hanya sekedar simbol. Gemerlap ibukota membuat
mereka lupa terhadap jiwa.” Imbuhnya sambil menghisap rokok Cap Garam dengan
nikmat. Ibuku mengangguk, entah mengerti atau tidak maksud Kiai.
***
Sesampainya di Kota Monas, aku tinggal
di Apartemen mewah bersama Hasan. Hasan adalah teman sekolahku dari kampung Madani yang
sukses menjadi staff ahli salah satu Anggota
Dewan asal Borneo. Sebelumnya Ia menjadi tim suksesnya pada Pemilu Legislatif
tahun 2009. Dia belum menikah, jadi aku bisa tinggal bersama Hasan. Aku kagum sama
temanku ini, badan nya atletis dan wangi. Pakaianya rapi dan elegant, berbeda
dengan Hasan yang aku kenal dulu. Badan nya tirus dan pakainnya yang kucel
selalu jadi bahan olok-olokan teman-teman di Madrasah. Dia sekarang sudah
menjadi orang yang sukses. Bahkan tahun lalu, dia sudah bisa pergi Umroh.
Akhir bulan kemarin, Hasan sering muncul di Televisi. Dia sering
mendampingi petinggi partai melakukan konfrensi pers terkait agenda kongres
yang dilangsungkan di Kota Kembang. Karir Hasan kian melejit setelah “jagoan”
nya terpilih sebagai ketua umum Partai Biru. Hasan mulai sibuk dan jarang
pulang ke apartemen.
Hingga pada suatu hari, sepulang
dari melamar kerja ke beberapa perusahaan. Aku pulang ke Apartemen. Ada 3 orang
polisi masuk ke kamar apartemen kami. Satu orang berjaga di pintu sedangkan dua
orang lainnya sibuk mengemasi laptop dan dokumen milik Hasan. “Ada apa ini kok
asal main geledah” Kataku dengan nada marah kepada mereka. Seorang polisi yang
berjaga di depan pintu langsung mendekap badanku yang tirus. Badannya yang
besar dan kekar membuat aku tidak bisa lepas dekapan nya. “Maaf, teman anda
tertangkap tangan menjadi perantara penyuapan”. Kata polisi yang mendekapku itu. Badanku lansung gemetar,
aliran darahku serasa membeku mendengar ucapan polisi itu.
Dan hanya dalam hitungan jam
berita penyuapan politisi Partai Biru muncul di televisi. Hasan menjadi headline
berita, ia tertangkap tangan menjadi perantara penyuapan bersama dua orang
perempuan di sebuah Hotel berbintang. Beritanya
tersebar hingga ke kampung Madani. Aku tertenduk lesu didepan TV melihat
temanku menjadi korban “Pemuja Daging”.
Pontianak, 27
Februari 2012