Cerpen Karya :
Abdul Hamid
FOTO DediTG |
Setetes air jatuh tepat mengenai hidungnya. Dua, tiga, dan beberapa tetesan
lain menyusul. Perempuan itu menengadah kelangit Madani disenja yang tiris.
Segera dia beranjak dari ladang gambut yang baru sebulan ditanami padi.
“Berteduh dulu bi, hujannya mulai deras.” Salah satu tetangganya memanggil.
Rintik hujan yang semakin rapat membuat perempuan itu memutuskan untuk berteduh
kesebuah rumah yang dekat dengan ladangnya.
“Tak terasa ya sekarang sudah memasuki musim hujan.” Ujar perempuan itu
seakan ingin membuka pembicaraan dengan tetangganya yang berbaik hati mengajak
dia berteduh di teras rumahnya.
“Iya bi, sekarang kan sudah masuk musim haji, jadi pasti hujan hampir tiap
hari.” Balasnya santai. Seketika mulut perempuan itu terkunci. Mendengar musim
haji tubuh perempuan itu terasa dingin sedingin semilir angin yang berhembus
disore itu.
***
Jam ditanganku menunjukkan pukul 15.30. Dari sudut jendela kantor aku
menerawang ke langit. Mendung tebal menggantung. Sebentar lagi hujan
turun. Sementara setengah jam lagi
waktunya jam pulang kantor. Beberapa orang diruangan sebelah tampak sudah mulai
berkemas, merapikan arsip dan sejumlah kertas kerja. Bersiap untuk pulang.
“Ayo kita pulang. Sebentar lagi turun hujan ni.” Salah satu staff bagian
administrasi mengajak pulang lebih awal.
Beberapa pegawai lain kemudian menyusul, mengikuti ajakannya. Aku hanya
mengangguk ketika mereka mengajak pulang lebih awal. Bagi seorang pegawai
honorer seperti aku, menghilangkan mental birokrasi yang korup terhadap negara
ini tidak selalu identik dengan menyelamatkan uang negara. Lebih dari itu kita
harus tetap menjaga disiplin kerja. “Udah, pulang saja Mid. Kamu kan bukan
pegawai. Status kamu disini kan hanya honor, jadi kamu gak akan kena sanksi
disiplin kerja.” Ujar Ibu Kepala Bagian Administrasi.
“Iya Bu.” Balasku pendek. Ucapannya mulai menggoyahkan pendirianku untuk
disiplin pulang tepat waktu.
Belum sempat aku mematikan komputer, angin kencang sudah mulai bertiup
disertai rintik hujan yang menghujam diatap kantor. Pupus sudah kesempatan untuk ikut
pulang lebih awal hari ini.
Tepat jam 4 sore aku putuskan untuk pulang dari kantor. Aku mulai berkemas
dan mencabut kabel listrik yang terhubung dengan layar monitor sebelum meninggalkan ruang
kerja. Tiba-tiba langkahku terhenti di depan pintu ruang kerja. Seorang teman
yang nasibnya lebih beruntung diterima sebagai pegawai negeri sipil di kantor
ini sudah berdiri didepan pintu.
“Mid, ini undangan buat mu. Tolong kamu datang nanti ya.” Ucapnya.
“Undangan apa?” Tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku, hanya membalasnya
dengan senyuman sejuk lalu bergegas pergi dari hadapanku sambil melambaikan
tangan.
Sejurus kemudian, Aku membuka amplop undangan yang diberikan temanku
didepan pintu. Saat mataku membaca isi undangan, tiba- tiba jantungku berdetak
kencang. Undangan selamatan haji. Perasaan sedih menghujam didada . Sedih,
bukan karena iri terhadap temanku yang bisa pergi haji bersama keluarganya.
Tapi karena sampai detik ini aku masih
belum bisa menunaikan keinginan ibu untuk pergi haji.
Dua belas tahun yang lalu, Ibu dan Bapak sudah mempersiapkan diri untuk
pergi haji. Kerja keras mereka berdua mengumpulkan uang sudah cukup untuk pergi
haji. Bahkan dalam hitungan minggu lagi mereka sudah bisa mendaftar untuk pergi
haji. Cukup menunggu satu tahun saja, musim haji tahun depan nama mereka sudah terdaftar
dalam keberangkatan. Sayang, musibah
yang bernama kerusuhan sosial melanda kampung kami. Harta benda terbakar, tak
mampu diselamatkan. Nyawa ayah beserta ratusan orang lainnya melayang dikampung
kami. Dalam sekejap, impian kami musnah. Aku dan ibu terdampar di tanah bernama
relokasi Madani.
***
Sore itu aku putuskan untuk pulang kampung menemui ibu. Mengendarai motor
butut yang dengan setia menemaniku dalam setiap perjalanan, dari mulai kuliah
sampai aku sarjana dan bekerja menjadi tenaga honor di sebuah instansi
pemerintah. Jalanan yang becek, serta tiupan angin yang berhempus disertai
gerimis terasa mencincang seluruh tubuh. Tidak aku pedulikan. Putaran roda
motor butut terus berpacu, mengantarkanku ke sebuah rumah di relokasi.
Ibuku baru saja pulang dari ladang ketika aku sampai dirumah. Bajunya masih
berlumuran dengan lumpur. Aku mencium tangannya dengan takzim, kemudian
memeluknya seraya berbisik “Maafkan aku
ibu, yang sampai saat ini masih belum bisa memenuhi impian mu.”
Ibuku hanya tersenyum, kemudian mencium bahuku.
Madani, 2 Dzulhijjah 1433 H