Ilustrasi |
Oleh : Abdul Hamid
(Cerpen ini di muat di Harian Borneo Tribune, Jum'at 7 September 2012)
Hari ini adalah hari terakhir
berpuasa. Jika dalam laporan tim pemantau hilal kementrian agama dalam sidang isbat
nanti malam sudah melihat hilal, maka pemerintah akan menetapkan esok sebagai
1 syawal.
Kata anakku, kalau hilal sudah
terlihat dua derajat atau lebih di beberapa wilayah nusantara, Pemerintah pasti
menetapkan hari minggu besok sebagai 1 syawal. Itu berarti puasa kali ini hanya
dua puluh sembilan hari bukan tiga puluh hari seperti tahun lalu.
Aku membayangkan suara takbir
menggema hingga seantero negeri. Suara takbir yang terlantun dengan indah
menggetarkan dada setiap insan yang beriman. Idul fitri adalah hari kemenangan
bagi yang lulus dalam ujian bernama ramadan. Semua orang bersuka cita. Saling
bermaafan, saling bersilaturahim mengunjungi sanak saudara, teman dan tetangga
dengan baju barunya. Menikmati aneka hidangan kue, dan air kaleng gas di meja. Seperti
tiga belas tahun yang lalu ketika di Senangi.
“Bu, bolehkan besok aku pakai sarung ayah lagi untuk
salat ied? Kalau boleh hari ini mau
disetrika dulu biar tak kusut”. Permintaan itu menyetakkan lamunan manis idul
fitri di masa silam.
“Iya, nanti ibu ambilkan di lemari ibu.” Jawabku. Mataku
melirik sebentar kearahnya lalu aku beranjak masuk kedalam kamar.
Tiba-tiba kepedihan didadaku
memuncak, saat mataku menatap pada sehelai sarung BHS bermotif kotak-kotak yang
warnanya sudah mulai memudar. Buliran kristal hangat tak bisa aku bendung,
mengalir deras pada kedua pipiku. Sehelai sarung ini satu-satunya yang aku
selamatkan ketika terjadi musibah di kampung Senangi dulu. Ia menjadi
pembungkus serifikat tanah dan ijazah masa depan anakku.
Dulu, sarung ini dibeli oleh
suamiku dua hari menjelang lebaran. Keinginan terbesarnya dari seorang petani
hanyalah membelikan baju dan sarung baru untuk anak, istri dan dirinya disaat
lebaran.
Sebagai seorang kiai kampung,
dalam kesehariannya suamiku memang tidak terlepas dari sarung. Oleh suamiku, Sarung digunakan dalam berbagai acara,
baik untuk acara formal
dan non formal. Mulai dijadikan pakaian untuk pergi keacara kondangan, akad nikah, untuk salat, bahkan selimut penahan nyamuk di malam hari. “Sarung itu membuat
hidupku bergerak bebas tapi tetap menjadi penutup aurat” kata suamiku bercanda
saat aku menegurnya karena keseringan memakai sarung.
Suamiku tampak senang ketika
mengenakan sarung barunya di hari labaran. Ia terlihat berwibawa dengan kemeja putih dan sorban warna
birunya. Aku membuntutinya dari
belakang. Haidir yang saat itu masih berusia 9 tahun digandeng disamping kiri
ayahnya. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahuakbar, La ilaha illallah wallahu
akbar, Allahu akbar walillahilhamd. Suara takbir dan tahmid terus terucap mengiringi
langkah kami ke masjid.
*********
Malam ini
suasana terasa khidmat. Seusai salat magrib, beberapa stasiun televisi
memberitakan bahwa hilal sudah tampak melebihi dua derajat di beberapa wilayah
nusantara. Hanya didaerah Bandung yang tidak tampak karena cuaca sedang
mendung. Apa yang dikatakan anakku ternyata benar. Menteri Agama mengumumkan 1
syawal 1433 hijriyah jatuh pada hari minggu. Ramadan berlalu. Takbirpun segera
berkumandang dari corong masjid Madani yang tak jauh dari rumah kami. Haidir
bergegas ke masjid menutup ramadan kami dengan zakat fitrah.
*********
Hari sudah terang-terang tanah,
namun kabut masih menggumpal- gumpal diranting-ranting pohon rambutan. Didepan
rumah Haidir sudah berdiri menungguku. Allahu akbar, Allahu akbar,
Allahuakbar, La ilaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd.
Aku membuntutinya dari belakang seraya mengumandangkan takbir, menyambut hari kemenangan.
‘Ya rab, kami datang meski tidak dengan pakaian yang baru. Kami datang dengan
kemenangan setelah memerangi hawa nafsu dan keputusasaan masa depan kami.”
Gumamku dalam hati yang bertakbir.
Madani 5 Syawal
1433 Hijriyah