Oleh : Abdul Hamid
(Cerpen ini di muat di Harian Borneo Tribune hari Minggu
26 Agustus 2012)
Percikan air dingin meletik-letik ke mukaku. Mataku
mengerjap-ngerjap, cepat-cepat ku usap lalu aku menggulung tubuh kedalam sarung
yang menjadi selimut tidurku. Melingkar bagaikan terenggiling hutan yang tertangkap
oleh seorang pemburu yang ulung. Ibuku lalu berbisik ke telinga di balik sarungku
“Cepat bangun, ayahmu sudah mengambil rotan, nanti kamu kena pukul oleh ayah.”
Ucap ibu yang selalu datang bagai pahlawan menyelamatkanku dari sergapan
pemburu. Segera kusingkap tubuhku dari balutan sarung, dan duduk memasang
kuda-kuda untuk menangkis pukulan rotan ayah. Dalam sekejap ayah dan ibu
menghilang dari pandangan mataku. Yang aku lihat hanyalah dinding kayu yang
sudah lapuk dimakan usia dan atap rumbai yang miring mengikuti bentuk rumah. Disamping
kiriku televisi buatan negara tirai bambu berukuran 14 inc masih menyala,
menyilaukan pandangan mataku. Dengan malas aku menekan tombol power
untuk mematikannya. Aku termenung dan mengumpulkan kembali ingatanku.
Mimpiku tentang ayah membuat rasa rindu tiba- tiba
mendesir menghias kalbuku pagi ini. Rindu yang tak kuasa kutahan ketika
mengingat sosok kurus nan tegas itu. Coba saja waktu itu engkau ikut bersama
kami lari dari kampung itu. Pasti ramadan tahun ini engkau masih bersama kami.
Mengumandangkan shalawat tarhim, mengingatkan orang- orang untuk bangun dari
tidurnya dan bersiap-siap melaksanakan sholat subuh berjamaah. Dan ibu
akan membelikan baju lebaran yang baru
untuk mu, sebagai hadiah dari seorang istri yang setia hidup menua bersamamu,
memegang teguh ikar hingga akhir hayatnya.
“Kalau sudah bangun, sholat tahajjud dulu. Nanti baru makan sahur”. Seru
suara dari dapur yang tak lain itu adalah suara ibu. Rupanya ibuku bangun lebih
awal. Aku terbangun dari lamunanku. Ku ikuti perintahnya tanpa rasa malas, lalu
menghampirinya di dapur yang sudah siap dengan makanan untuk bersantap sahur.
Bara api masih tampak menyala, dibawah panci. Asap
mengepul hingga keatap dapur. Mengusir nyamuk liar yang datang tanpa diundang. Pagi
ini sayur sawi masak tumis dan ayam goreng sisa malam slekoran (malam ke
21 di bulan ramadan dalam tradisi masyarakat Madura) menjadi makanan sahur kami
berdua. Sama halnya ketika kami tinggal di Senangi dulu. Makanan ini selalu
menjadi pesanan ayah ketika berpuasa sunnah
ataupun puasa Ramadan terutama pada malam slekoran. Entah
kenapa, pagi ini semuanya mengingatkanku pada ayah. Mulai dari mimpiku hingga
makan sahur kami. Seolah- olah ayah ingin bernostalgia dengan kami.
Shalawat tarhim berkumandang, menandakan waktu imsak
telah masuk. Segera aku dan ibu bergegas menuju masjid Madani. Sepanjang jalan
lantunan shalawat mengiringi gerak langkah kami.
Shalawat tarhim adalah puisi karya syeikh Mahmud al
Kusairi. Puisi ini seperti shalawat, berisi puji-pujian kepada baginda Nabi
Muhammad. Dahulu, setiap kali ayah membacanya mata ayah selalu sembab.
Pernah suatu hari di bulan syawal, air mata ayah
bercucuran kala bacaannya sampai pada Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk (Shalawat
dan salam semoga tercurahkan padamu) Yaa
Man asraa bikal muhayminu laylan nilta maa nilta wal-anaamu niyaamu ( Wahai
Yang Memperjalankanmu
di malam hari, Dialah
Yang Maha Melindungi Engkau memperoleh apa yang kau peroleh
sementara semua manusia tidur) Wa
taqaddamta lish-shalaati fashallaa kulu man fis-samaai wa antal imaamu (Semua
penghuni langit melakukan shalat di belakangmu dan engkau menjadi imam) Wa
ilal muntahaa rufi’ta kariiman wa sami’tan
nidaa ‘alaykas salaam (Engkau diberangkatkan ke Sitratul Muntaha
karena kemulianmu dan engkau mendengar suara ucapan salam atasmu) Yaa kariimal akhlaaq yaa Rasuulallaah (Duhai
yang paling mulia akhlaknya,
ya Rasulullah) Shallallaahu ‘alayka wa ‘alaa aalika
wa ashhaabika ajma’iin (Semoga
shalawat selalu tercurahkan padamu, pada keluargamu dan sahabatmu).
Langit pagi seakan bergemuruh menyebut asma Allah, dan bershalawat
kepada baginda Nabi Muhammad. Semua jamaah
tak kuasa menitikkan air mata. Subuh itu terasa begitu khidmat. Dan tak
kusangka subuh itu menjadi subuh terakhir ayah bersama kami.
Dipagi itu juga, ayah tertelan oleh suara gemuruh badai
yang tiba-tiba datang menerjang kampung Senangi. Ratusan orang yang dirasuki
vampire hutan mencabik-cabik para jamaah ayah. Tubuh kurus ayah yang menghadang
di halaman masjid, roboh oleh ayunan pedang dan golok. Suara takbir ayah
tersapu senapan lantak dan tajamnya pedang yang menghujam ke tubuhnya. Aku dan
anak-anak santri ayah hanya menjerit ketakutan.
Pagi ini, setelah sepuluh tahun lebih ayah meninggalkan
kami, kampung baru kami Madani selalu berkumandang shalawat tarhim sebelum
adzan subuh. Anak-anak santri yang dulu ayah didik di mushola itu sudah pandai
mengaji dan bisa menjadi imam tarawih dan shalat fardu. Engkau pasti bahagia
dan tersenyum melihat kafilah-kafilahmu kini menjadi penyangga tiang agama di
kampung baru kami.
Ayah, sungguh tak pernah sia-sia apa yang telah ayah perbuat
dulu. Pukulan rotan yang ayah cambukkan kebadanku dulu, kini membuatku terjaga
dari tidur ku. Semoga engkau menjadi makmum dari Imam yang selalu engkau sebut
dalam shalawat tarhimmu. Pintaku dalam doa sebelum sholat subuh ini.
Madani, 21 Ramadan 1433 H