Cerpen Karya :
Abdul Hamid
Foto Liza's kitchen |
(Cerpen Ini di muat di Harian Borneo Tribune pada tanggal 30 Nopember 2012) “Lebaran kali ini kita tidak
boleh menerima daging kurban. Jadi Ibu sudah menyisakan sebagian daging ayam
untuk dibuat sate besok. Kamu tak usah mengambil jatah daging meskipun kamu
jadi panitia kurban.” Pinta ibu seuasai berbuka puasa sunah. Aku mengangguk,
meski sebenarnya hatiku masih terasa berat. Bagaimana aku menjaga perasaan
kedua sahabatku?. Kemarin aku sudah merencanakan ingin mengundang mereka berdua
untuk makan sate bersama di rumah.
Bahkan, tadi sore seoarang
sahabatku yang tinggal di ujung Desa Madani mengirim pesan singkat. Dia akan
datang kerumah besok pagi setelah solat. “Besok pagi aku mau kerumahmu dengan
Abi. Aku mengajak dia makan sate bersama di rumah mu. Tolong disiapin ya
boy.” Pesan singkat Amin yang masuk di
telepon selulerku. Aku hanya menjawab dengan dua kata. “Datang saja.”
Dua sahabatku yang sama-sama
tinggal satu kost itu memang selalu datang kerumah di setiap lebaran kurban.
Mereka tahu kalau aku selalu jadi panitia pembagian daging kurban. Ketajaman
hidungnya dalam mengendus aroma sate memang tidak diragukan lagi.
Kami bertiga sudah saling kenal
sejak lama. Kami dipertemukan di sebuah shelter pengungsian korban
musibah sosial pada tahun 1999. Selama kurang lebih tiga tahun keluarga kami
tinggal satu shelter. Mereka berdua sudah seperti bagian dari keluargaku. Bahkan
Abi dan Amin sudah menganggap aku seperti adiknya. Ketika lulus dari SMP
Purnama, kami bertiga mengenyam pendidikan di sekolah yang berbeda. Abi memilih
bersekolah di SMA Negeri 2 Purnama. Aku bersekolah di SMK Maju Jaya, sementara
Amin lebih memilih Ilmu Agamanya di Madrasah Aliyah Al- Ma’aarif. Untuk
bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, sepulang dari bersekolah aku
membantu ibu berjualan sate di Pasar Flamboyan.
Setiap malam aku menyisakan Dua tusuk sate untuk kedua sahabatku Amin
dan Abi. Mereka menyeringai didalam shelter ketika datang aku membawakan sate.
Maklum saja, hidup dipengungsian jatah makanan kami sering tidak menentu.
Tahun 2000 Pemerintah Povinsi
Borneo Barat memindahkan para pengungsi dari Gedung Olahraga Pangsuma secara
berangsur-angsur ke sebuah relokasi bernama Madani. Orang tua aku dan Amin
menerima bantuan rumah dan sebidang tanah untuk masing-masing kepala keluarga
yang diberikan oleh pemerintah. Sementara Abi bersama keluarganya lebih memilih
tinggal di Desa Durian, dekat dengan Bandar Udara Supadio.
Meskipun keluarga kami tidak lagi tinggal berdekatan. Namun
persahabatan kami terus berlanjut. Kami bertiga lebih memilih tinggal di
kota untuk melanjutkan kuliah dan tetap
tinggal satu kost. Sesekali kami pulang kerumah masing- masing jika liburan
kuliah. Di Kota Khatulistiwa kami bertiga menyewa sebuah rumah untuk dijadikan
tempat kursus Bahasa Inggris. Dan dari mengajar kursus itulah kami bisa
membiayai sendiri uang kuliah dan bertahan hidup.
Malam
ini pikiranku berkecamuk. Aku tidak ingin mengecewakan kedua sahabatku yang
sudah aku anggap sebagai saudaraku. Disisi lain, permintaan ibu untuk peduli
tetangga adalah amanah. Ibu adalah orang yang idealis dan pekerja keras. Jika
ucapannya tidak diikuti, apalah guna aku sekolah tinggi-tinggi.
Apa yang diucapkan oleh ibu
sebetulnya merupakan wujud simpatinya untuk membantu sebagian saudara-saudara
kami di Madani yang masih hidup dibawah taraf hidup yang layak.
Lebaran kurban adalah saat paling
menyenangkan bagi sebagian mereka untuk ikut menikmati daging kurban. Daging
yang menjadi konsumsi makanan keseharian orang-orang yang mampu.
Malam ini terasa khidmat, seuasai
solat magrib surau-surau di Madani mulai mengumandangkan takbir. Beberapa
stasiun televisi tampak menyiarkan kegiatan wukuf di Padang Arafah. Rasa haru tampak menyelimuti jutaan
para jemaah haji di Arafah. Terasa bergetar rasanya batinku walau hanya
menonton melalui siaran televisi. Terbayang betapa bahagianya jika aku dan ibu
saat ini berada ditengah-tengah mereka.
Malam ini juga semua orang
memakai wajah suka cita. Anak- anak berlarian di halaman masjid. Para orang tua
dan yang sudah remaja bergantian melantunkan takbir. Allahu akbar, Allahu
akbar, Allahuakbar, La ilaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd.
***
“Gimana? Bisa langsung kita mulai bakar satenya?” Tanya
Abi. Wajahnya cengengesan ketika aku membawa kantong plastik berwarna hitam ke
rumah.
“Daging ini bukan untuk kita. Ini untuk orang yang lebih
membutuhkan daripada kita.” Jawabku.
“Kok gitu. Lalu gimana dengan kami. Kami kan masih sama-
sama miskin.” Sanggah Amin.
“Iya. Tapi masih ada yang lebih membutuhkan. Kamu gak
usah khawatir, kita tetap akan makan sate sama-sama.” Jawabku. Mereka berdua
menyeringai mendengar jawabanku.
Ibu
datang menghampiri kami di teras rumah dengan membawa sate ayam. Aroma satenya
menggoda selera. Asap tipis membumbung di atas sate yang sudah dilumuri kecap.
Aku tersenyum dan kagum terhadap Ibu. Ternayata ibu mengerti dengan kebiasaan
persahabatan kami. “Wah, Aroma satenya masih mirip dengan kamu jual dulu Bi.”
Kata Abi disertai tawanya yang khas. “Satenya ada enam tusuk. Berarti
masing-masing dari kita dapat jatah dua. Dari dulu sampai sekarang hanya nambah
satu tusuk saja”. Timpal Amin. Kami pun
tertawa mendengarnya.
Benar
juga candaan Amin. Perubahan dalam kehidupan kami memang pelan. Namun seiring
dengan berjalannya waktu nasib kami akan terus berubah kearah yang lebih baik
meski dengan keterbatasan yang kami miliki saat ini.
Pontianak,
10/10/10