![]() |
Foto Bersama Pengurus IPNU Usai Kegiatan |
Oleh : Memet Abdul Hamid
Dari sudut jendela Masjid Fastabiqul Khairot, perlahan aku mengintip sang ratu malam. Ditengah kusutnya pikiranku menunggu loading laptop pentium 2 yang hampir setengah jam arah kursornya tidak bergerak-gerak.“Aduh, gawat ni boy. Kemungkinan laptopku eror, padahal materi untuk seminar workshop besok pagi belum aku ketik” teriak Zhidan membuyarkan lamunanku pada sang rembulan.
“Iya, materiku sudah ada di latopmu, Cuma aku belum sempat ngeprint. Kalo eror aku harus buat ulang malam ini”kataku dengan nada kesal
“Laptop nya tu buatan manusia purba zaman dulu-dulu. Jadi termasuk jenis homosapiens, berpikir tapi telat” seloroh Sulaiman.
“Masih lebih cepat masak nasi daripada nunggu loadingnya” timpal Alif Farhan disertai tawa.
Satu jam lebih menunggu loading, tak juga muncul tampilan gambar pada layar laptop sedangkan malam semakin larut. rasa kantuk menyerang kami satu persatu. Diawali dari Alif Farhan, Zhidan, dan Sulaiman. Aku pun tak bisa menahan rasa kantukku. Dengan berkemul sarung, beralaskan sajadah dan sebuah peci lipat yang aku jadikan bantal aku terlelap disamping teras masjid bersama teman-teman.
Setelah sholat subuh, aku pinjam laptop Alif Farhan menulis ulang materi workshop. Aku berhasil menyelesaikan nya sebelum jam 6 pagi.
Dengan penuh rasa percaya diri kami berempat berangkat menembus hutan pa’long yang rimbun dipenuhi pepohonan karet menuju pangkalan speed boat parit surabaya. Setibanya disana, seorang santri telah menunggu kami di pangkalan dengan speed boatnya.
“Saya utusan pesantren Raudlatul Ulum yang disuruh untuk menjemput para laskar ipnu” sambutnya dengan ramah kami, hanya tersenyum dengan sebutan itu.
Dengan kecepatan tinggi speed boat melaju cepat diatas air sungai ke arah timur, membelah sungai kapuas. Sungai terpanjang di tanah borneo. Mentari pagi yang baru keluar dari peraduannya memantulkan cahaya kepermukaan air sungai yang menimbulkan warna- warni laksana pelangi dalam sebuah film Laskar Pelangi.
Ketika kami sampai di pesantren sudah ada puluhan santri berseragam pramuka duduk rapi- rapi memadati sebuah aula. Beberapa orang santri putri terlihat sibuk keluar masuk ruangan. Di dada nya tersemat tanda bertuliskan PANITIA.
“Silahkan masuk bang. Acaranya mau kita mulai” sambut seorang santri putri disertai senyuman. Belakangan ku ketahui namanya adalah Hafza, putri sang pengasuh.
“Iya, sambil dimulai saja. Suruh MC nya untuk membuka” jawabku seraya duduk di bangku yang sudah disediakan untuk para narasumber.
Sesi pertama Sulaiman tampil memakau, layakya motivator yang sudah berpengalaman Ia membuat para santri terkagum- kagum terhadap materi dan penyampaiannya. Alif Farhan yang tampil di sesi kedua seusai sholat dzuhur juga tak kalah dengan Sulaiman, Ia mempresentasikan materinya berjudul “Mengenal Lebih Dekat Dunia Kampus”.
Sesi ketiga giliranku menyampaikan materi Mabadi Khairu Ummah, dipenghujung aku tutup dengan sebuah renungan. Bermodalkan pengalaman mengikuti Training ESQ aku membius para santri yang ada dalam ruangan hanyut dalam kisah “perjuangan sang ibu”. Satu persatu puluhan kepala santri tertenduk kebawah. Air mata mereka jatuh susul menyusul disertai isakan lirih, suasana yang awalnya hening pelan-pelan menjadi pecah dengan isakan tangis. Dipenghujung renungan aku meminta seorang santri untuk memimpin doa.
Bait- bait doa yang dipanjatkan terasa begitu khidmat dan tenang. Dalam doanya Ia meminta :
“Ya Allah hidupkanlah kami senantiasa dengan berpegang teguh pada agamamu. Ya Allah, ya rab… jangan engkau wafatkan kami yang berkumpul pada hari ini kecuali engkau sempatkan kami untuk bersiarah ke tanah sucimu. Ampunkanlah dosa kami, dosa kedua orang tua dan dosa guru- guru kami yang telah mendahului kami”.
Aku benamkan wajahku ke kedua telapak tangan dan aku bisikkan “Amin..
Dengan linangan air mata para santri menyalami kami bergantian. Usai bersalaman, para santri satu persatu keluar dari ruangan aula. Hanya menyisakan aku dan seorang santri putra yang masih duduk terpaku di bangku. Air matanya melimbak-limbak, membentuk sungai kecil yang seakan tidak mau putus dan tidak ingin kering.
”Adakah kata-kata ku yang melukai perasaan mu ya akhi? Tanyaku sambil mengusap punggungnya.
“Tidak bang”. Jawabnya pendek
“Lalu apa yang membuat perasaan mu begitu sedih?”
“Aku hanya teringat akan almarhumah nenenkku. Bertahun tahun lamanya beliau berjuang sendirian. Bekerja keras seharian di ladang demi menyekolahkanku. Dari semenjak kecil aku dititipkan oleh kedua orang tuaku padanya. Sampai beliau dipanggil sang khalik. Aku belum pernah mengucapkan kata terima kasihku padanya. Aku merasa bersalah dan tak berguna” terangnya dengan suara parau.
“Sabar ya akhi, Insya Allah air matamu dan doa yang tiap waktu engkau panjatkan menjadi pelebur dosa-dosanya. Kelak Allah mengumpulkan kalian di surganya.” Ucapku dengan mengusap kembali punggungnya.
Waktu sholat Ashar sudah masuk. Kumandang adzan terdengar dari corong mesjid di samping Aula. Aku pun mengajak santri tersebut bergegas untuk sholat. Beranjak dari ratapan masa lalunya meninggalkan aula bercat warna putih ini yang penuh dengan kesan dan makna. Seusai sholat azhar kami berempat para laskar ipnu diantar panitia workshop kepangkalan speed boat dengan sepeda motor beriringan. Melewati kembali hutan belantara, membelah air sungai kapuas yang tenang.