Banner Diskusi Gus Dur |
Oleh : Abdul Hamid*)
Sabtu
7 januari yang lalu, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kota Pontianak memintaku untuk
mengkonsep acara Haul Gus Dur yang kedua tahunnya. Saya merasa sangat tertarik
dan bahagia karena bagi saya Gus Dur adalah sosok kiai Nahdlatul Ulama (NU)
yang saya kagumi, pemikirannya selalu memberikan pembelajaran dan pemahaman
kepada orang lain akan arti pentingnya visi kemajemukan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Setelah
berdiskusi panjang lebar dengan para sesepuh di ansor, akhirnya tercetuslah ide untuk membuat acara
diskusi interaktif bertema : Gus Dur : Pemikiran, Karya dan Masa Depan
Keberagaman di Kalimantan Barat. Acara tersebut kemudian dirangkai
dengan Doa Bersama dan Pembacaan puisi untuk sang Guru Bangsa. Saya diberi
waktu 5 (lima) hari untuk membuat desain undangan, daftar undangan, ekspedisi
undangan sampai dengan pemesanan tempat dan konsumsi untuk kegiatan. Kata
sahabat saya ini adalah manajemen tukang sate yang dipakai. Saya sendiri bukan
tidak mau mengajak para pengurus di Ansor, akan tetapi mereka sibuk dengan
tugas dan pekerjaan pribadinya. Ada yang sibuk ujian kuliah, skripsi,
penelitian sampai ada yang sibuk menjadi tim sukses calon gubernur Kalimantan
Barat. Banyak diantara pengurus yang meminta acara diskusi untuk diundur
mengingat mepet nya waktu.
Sangat
memusingkan, tapi saya masih punya cara untuk tidak menunda acara itu. Walaupun
dengan susah payah saya mengedarkan undangan sendirian dan mencari- cari tempat
yang pas dengan anggaran yang minim.
Satu
hari, menjelang hari H yakni jum’at tanggal 20 Januari 2012 jam 17.00 semua
persiapan telah selesai. Malam itu tinggal istirahat menyiapkan tenaga untuk
besok siang. Entah kenapa tiba-tiba pikiranku baru teringat kalau saya belum
kepercetakan untuk membuat banner acara. Jam 19.00 saya putuskan untuk pergi ke
salah seorang teman langgananku dalam membuat banner. Kami menyebutnya Bearing,
seorang warga keturunan Tionghua yang tinggal di Jalan Gajahmada. Sesampainya
saya disana, rumahnya sudah terkunci. Karyawanpun sudah pulang kerumahnya,
hanya satu orang perempuan yang terlihat sibuk membaca buku di depan rumahnya.
Ketika saya hendak menanyakan Bearing kepadanya. Tiba-tiba sudah keluar Bearing
dengan istrinya yang sudah hamil tua hendak berbelanja untuk kebutuhan hari raya
Imlek.
“bisa
bantu buatkan banner untuk acara besok bang? Pintaku
“waduh,
gimana ya. Aku mau jalan ngantar istriku belanja ni. Emang untuk acara apa sih,
kok main mendadak?
“ini
bang, buat acara diskusi pemikiran Gus Dur besok”
“oke,
bisa. Sebetulnya sudah tutup. Tapi apa sih yang tidak, kalau untuk Gus Dur”
“kalau
bukan karena Gus Dur, kita tidak bisa merayakan Imlek” imbuh istri Bearing yang
dengan sabar menunggu sang suami mendesain banner.
Kita tahu Pada masa orde baru
tahun 1990-an, adalah masa-masa sulit
kemerdekaan demokrasi masyarakat keturunan negeri Cina di Indonesia. Kebebasan
berpendapat dikekang, bahkan beberapa komunias Tionghoa harus hidup secara
sembunyi-sembunyi dan terbatas dalam hal keterlibatan pekerjaan birokrasi.
Hampir tak ada orang keturunan Tionghoa dalam aparat pemerintahan saat itu.
Saat
ini, demokrasi Indonesia yang semakin baik memberikan jalan cerah kepada Kaum
Tionghoa tanah air. Gus Dur lah yang mengambil kebijakan bersejarah bagi warga
Tionghoa yaitu mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 1967 yang berisi
larangan atau pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa. Saat itu ia mendapatkan banyak kontroversi
dari pejabatnya sendiri, namun di mata Tionghoa tanah air, ia adalah pahlawan.
Maka
wajar, apabila warga Tionghua sangat mencintai dan merindukan sosok seperti Gus
Dur. Apa yang telah dilakukan Gus Dur
semasa hidupnya kini menjadi amal jariyah
yang saya senidiri pun menerima barokahnya. Amin,…