Cerpen Karya : Abdul Hamid
![]() |
FOTO: internet |
Sebentar lagi, Bis yang aku tumpangi dari Kota
Khatulistiwa memasuki Kota Seribu Kelenteng.
Aku menarik tas ransel yang di selipkan di belakang kursi. Sejurus
kemudian, aku mengirim pesan singkat kepada sahabatku. “Iya, sebentar lagi saya sampai ke terminal jemput kamu.” Begitu
bunyi balasan pesan singkat di inbox.
Aku bergegas
bangun sebagaimana penumpang yang lain begitu bis berhenti. Sebuah tas ransel
langsung menempel di pundakku. Beberapa tukang ojek langsung mengerumuni aku
dan penumpang bis yang lain. Mereka menyerocos menawarkan jasa kuda besinya.
Aku menggeleng. Mataku mencari sosok seorang perempuan yang sudah berjanji
menjemputku.
“Hey,.. aku di
sini”. Seorang perempuan berkulit putih, ber wajah oriental melambaikan tangan
nya. Aku menyambangi perempuan yang aku
yakini dia adalah Noveria, sahabatku.
“Aku kira kamu
gurau, gak tau nya kamu serius datang ke sini.”
“Kamu ini gimana, Aku kan serius rindu sama
kamu”
“Ah, dasar gombal. Rayuan maut mu tuch, gak
mempan.” Dia tertawa sambil menyodorkan helm kepadaku. Aku tersenyum lalu naik
keatas motor matic nya.
Setelah melewati
jalan dan gang yang dipenuhi dengan gantungan lampion-lampion, tarikan gas
mengendor. Lalu kuda besi yang dikendalikan oleh Noveria berhenti di sebuah
rumah yang terasnya berpagar teralis besi.
“Inilah istana kecilku. Silahkan masuk.
Gak usah sungkan.” Nove mempersilahkan aku duduk di sebuah sofa berwarna coklat. Di
sampingku, terdapat bunga Mei Hwa. Bunga yang oleh orang-orang Tionghoa disebut sebagai bunga
keberuntungan.
Nove
menyuruhku menikmati hidangan kue di
atas mejanya, lalu dia beranjak ke
dapur setelah menawari aku “mau minum apa?” Aku jawab apa saja yang penting
dingin. Di atas meja, ada beberapa toples kue kering
dan sepotong kue keranjang. Kue yang selalu membuat aku teringat pada sosok
perempuan di kota kelahiranku, Kota
Pahlawan. Perempuan itu adalah nenekku tercinta,
Salbiyah.
Di suatu siang yang mendung itu,
dia pulang dari toko membawa sepotong kue keranjang. Tidak biasanya, nenek pulang ke
rumah saat istirahat siang. Saat istirahat siang, biasanya dia memilih untuk
beristirahat, solat, dan makan siang di tempat toke nya. Tempat di mana separuh
umurnya di habiskan, Toko Ahin.
Saat itu, dia datang dengan tidak biasanya. Setelah selesai solat duhur,
dia mendatangi kami yang saat itu sedang makan siang dapur. Katanya ada sesuatu yang penting
untuk di bicarakan dengan ibuku.
“ Tolong nanti kamu jaga rumah ya, karena nanti aku
mau pergi
jauh.” Pesan nenek pada ibu di dapur.
“Memang ibu mau pergi kemana?” Tanya ibu.
“Mau pulang kampung.”
“Memang nenek mau pulang kampung ke mana lagi?
Rumah nenek kan di sini.” Tanyaku. Dia tidak
menjawab, hanya meletakkan sepotong kue keranjang yang di bungkus dengan
plastik hitam lalu bergegas ke tempat dia bekerja. Aku merasakan ada sesuatu
yang aneh dengan kedatangannya. Ketika keanehan itu aku katakan sama ibu. Ibu
hanya berkata : “Belakangan ini nenek mu
sudah mulai membicarakan hal yang aneh-aneh. Mungkin ini yang dinamakan usia
lanjut.” Komentar ibu saat aku mengungkapkan keanehan yang aku rasakan pada
nenek. Akupun kemudian membuang jauh-jauh perasaan aneh itu.
Tapi, tak lama kemudian perasaan ganjil itu muncul kembali bersamaan dengan
asap pekat yang membumbung ke udara. Aku dan ibu segera keluar dari rumah
mencari sumber asap itu. Orang-orang berhamburan di jalan membawa senjata
tajam. Tembakan polisi ke udara bertubi-tubi tak dihiraukan. Entah, hantu apa
yang datang ke kota kami siang itu? Orang-orang tiba-tiba menjadi brutal.
Mereka menjarah toko-toko dan supermarket
milik orang-orang keturunan
Tiongkok di sepanjang jalan Kota Pahlawan, kemudian membakarnya. Aku dan ibu
berlari mencari nenek ke toko pak Ahin, tempat dia bekerja.
Beras, tepung, gula dan bahan sembako lain nya berserakan. Asap tebal
menyelimuti toko. Aku dan ibu menerabas masuk. Kami temukan nenek di rangkul
oleh Pak Ahin dan anaknya dalam keadaan lunglai. Segera kami bawa keluar agar
nenek bisa menghirup oksigen. Terlambat, badannya sudah lemas tak bernafas. Aku
berteriak di samping nenek seperti orang kesurupan. Pandanganku kabur, dan
beberapa menit tak sadarkan diri. Peristiwa yang mencekam itu kemudian kami
kenang dengan Peristiwa Mei 98.