foto ; rasa stroberi |
Cerpen Karya : Abdul Hamid
Orang-orang di rumahku gempar ketika Aming kembali lagi. Aku juga
terkejut dan tidak mempercayainya. Ah,.. mana mungkin dia bisa hidup kembali. Aku
tidak percaya. Pasti bukan dia. Dia sudah mati. Kalaupun dia masih hidup, dia tidak
akan kembali lagi ke sini.
Waktu aku mengungsikan dia ke pasar, tubuhnya sudah lunglai.
Badannya kurus tinggal tulang. Dari
mulutnya keluar air nanah tanpa henti. Dia tidak mampu lagi berdiri,
apalagi berlari. Kuperkirakan dia hanya bisa bertahan hidup dua hari. Setelah
itu dia akan mati.
***
Semua bermula dari sore itu, ketika aku secara tidak sengaja
menemukan dia mengeong, memelas meminta pertolongan. Entah siapa yang telah
membuangnya? Orang-orang yang kebetulan lewat di belakang Mall Twenty
tidak ada yang memperdulikannya. Aku merasa iba ketika melihat dia hidup
sebatang kara. Aku pungut dia dari tong sampah kemudian membawanya
kerumah.
Orang-orang di rumah merasa risih dengan kehadirannya. Sudah pasti
dalam pikiran mereka, Bahwa keberadaan dia di rumah akan merusak nuansa rumah
yang bersih nan tenang. Buang air sembarangan. Dan nanti kalau sudah besar,
naluri mencurinya akan muncul. Disaat orang lengah menaruh ikan, dia akan
mencurinya.
Dugaan aku ternyata benar. Semua keluargaku menyuruh untuk membuang
jauh-jauh kucing malang itu dari rumah. Tetapi aku menolaknya. Aku mempunyai
alasan yang kuat untuk memeliharanya.
“Di rumah ini sudah banyak tikus. Kita memerlukan dia untuk
mengusir tikus-tikus itu”. Belaku, ketika semua orang di rumah unjuk rasa ke
kamarku. Mereka tidak terima dengan kehadiran si bulu kuning itu ke rumah.
“Baiklah kalau itu yang menjadi alasanmu. Tapi kamu harus
bertanggung jawab apabila kucing itu buang air sembarangan di rumah. Dan satu
hal lagi, dia tidak boleh tinggal di dalam rumah. Taruh dia di garasi.” Ucap
pamanku mewakili aspirasi anggota keluarga yang lain.
Aku mentaati permintaan mereka. Kucing itu aku buatkan rumah kecil
yang terbuat dari kardus bekas bungkus televisi di rumahku. Di dalamnya, aku
letakkan kaos kampanye calon gubernur yang kalah tahun lalu sebagai alasnya.
“Aku beri nama kamu AMING. Kamu jangan kurang ajar ya, karena aku sudah menolongmu”. Kataku,
sambil mengelus kepalanya. Kucing itu menggesek-gesekkan kepalanya ke tangan,
seolah dia memberi isyarat “Iya”.
Tiga kali dalam sehari aku memberi Aming makan. Setiap makanan yang
kuberikan, aku taruh diatas piring yang
di letakkan di samping rumahnya. Aku ingin melatih kucing itu untuk
tidak mencari makan dengan cara masuk ke dapur seenaknya dia.
Alhasil, Aming tidak berani masuk ke dapur apalagi kamar. Sekali
dia masuk ke dapur, karena aku terlambat memberi dia makan. Orang-orang di
rumah tidak ada yang merasa ikan atau makanannya hilang secara misterius.
Satu tahun dia tinggal bersama kami. Orang-orang di rumahku
bersimpati padanya. Pernah suatu hari, ibu lupa menutup rak lemari makan di
dapur. Padahal di dalamnya terdapat ikan kakap goreng yang aromanya muntah
sampai keluar rumah. Aming hanya mengeong-ngeong sambil mencakar kaki meja
makan. Tidak berani masuk untuk mengambilnya. Dia menghormati hak kami,
sekalipun dia hanya binatang.
Kami semua menyanyangi Aming, tapi naas kembali menimpa dia.
Mulutnya robek. Berhari-hari keluar nanah.
Dia kalah dalam perkelahian dengan kucing jantan tetangga. Lantaran memperebutkan
kekasih idamannya.
Aroma busuk seperti bau bangkai keluar dari mulutnya. Mulutnya
sudah tidak bisa dimasuki makanan lagi. Orang-orang di rumah kembali berunjuk
rasa ke kamar. Mereka menyuruhku untuk mengasingkan Aming ke tempat yang jauh. Mereka
lupa terhadap jasanya mengusir tikus dari rumah. Aku mengungsikan Aming ke
pasar Melati yang jaraknya lima kilometer dari rumah. Sepanjang perjalanan, aku teringat pada kisah wanita
Himyariyah Israiliyah yang masuk neraka lantaran menelantarkan se-ekor kucing.
Dengan berat hati, aku letakkan badannya yang sudah tak berdaya di
samping tong sampah. Persis seperti saat aku menemukan dia. Aku mengelus
kepalanya tiga kali sebagai tanda perpisahan dengannya.