Tepat jam 19.25 saya sudah sampai di
terminal Bungurasih, setelah sebelumnya naik bis DAMRI dari bandara Juanda
Surabaya. Begitu saya turun dari bis, saya langsung dikerumuni banyak orang.
Layaknya artis yang ditunggu wartawan infotainment. Mereka menawari saya
macam-macam, mulai dari jasa ojek, tiket keluar kota hingga beberapa orang yang
memang memiliki kerjaan “mengintai” orang-orang yang lengah di terminal. He,..
unik juga ya cara masyarakat kita dalam mencari kerjaan. Seperti lagu bang Haji
Rhoma. Seribu satu Macam, cara orang cari makan.
Saya bersikap santai atas ajakan
mereka, berusaha tenang dan tidak panik. Saya meninggalkan kerumunan orang dan
masuk kedalam terminal. Didalam terminal sudah berjejer sesuai dengan
jurusannya masing-masing. Saya naik bis AKAS jurusan Kalianget. Badan bis
bergambar sakera dengan tulisan AKAS dengan tulisan arab. Kursi bis sudah terisi separuh. Aku
mengambil kursi dibelakang supir biar leluasa memandang jalanan Kota Surabaya.
Disebalahku ada perempuan cantik memangku anak nya yang kira-kira berusia dua
tahun. Supir bis membunyikan klakson. Kontan para pedagang asongan yang
berjualan didalam bis keluar menarik barang bawaanya.
Bis keluar dari terminal dan melaju
kencang bersama kendaraan lain di jalan Tol. Saya mengirim pesan singkat ke
taman saya, Izam. “Saya sudah on the way di Tol Surabaya”. Sebuah pesan singkat
ikut meluncur. Terkirim. Dalam hitungan menit sudah terbalas. “Oke, nanti saya
sama Subro nunggu di Tangkel- Bangkalan”. Aku tertawa geli membaca sms balasan
nya. Tangkel? Adakah nama desa Tangkel di Bangkalan? Bukankah Tangkel dalam
bahasa Madura adalah memukul dengan bagian belakang celurit. Kata-kata Tangkel
biasa digunakan oleh orang untuk memberi peringatan kepada seseorang yang
melanggar etika pergaulan atau tatakrama. Berbeda dengan Carok yang cenderung
lebih mengarah kepada pembunuhan apabila tatakrama atau norma hidup seseorang
dilanggar.
“Maaf saya jangan di Tangkel. Saya
Cuma numpang bermalam saja.” Selorohku lewat sms.
Angkutan umum menuju rumahku di Pasar
Lempong jika sudah diatas jam 7 malam dari terminal Sampang sudah tidak ada
lagi. Jadi aku putuskan untuk menginap dirumah sahabatku, Izam yang tinggal di
Bangkalan. Tidak jauh dari Kota.
Bis terus melaju membelah keramaian
kota Surabaya menuju Jembatan Suramadu. Rasa kantuk mulai menyerang mataku yang
kelelahan. Dalam beberapa menit aku hanya merasakan getaran gelombang naik-
turun, serta putaran kekiri dan kekanan yang aku rasakan.
Rasanya bahu kananku tertimpa oleh
benda yang berat seukuran kepala. Aku terbangun. Aku melihat kepala perempuan
yang duduk disebalahku menyandar kebahuku. Wah,.. gawat ni. Kalau ketahuan
suaminya aku bias di Tangkel. Dikira ada main dalam perjalanan. Pelan- pelan
aku mendorong kepala perempuan itu kekanan. Hingga kepalanya menyandar kebadan
bis dan tetap tertidur dengan pulas. Aku mengelus dada, Alhamdulilah. Aman dari Tangkelan.