Cerpen Karya : Abdul Hamid
Kaligrafi,..
Kata itu menyentakkanku dari tidur siangku di ruang tamu
rumah. Aku terbangun oleh suara lantang lelaki itu yang rupanya sudah berdiri
di halaman rumah. Teriknya matahari menyenter wajahnya dengan jelas. Ia berdiri
dengan memikul kaligrafi di kedua bahunya.
“Kaligrafi mas,..”
Ia mungulangi ucapannya untuk sekedar menawarkan barang bawaan nya.
Aku beranjak dari ruang tamu. “Maaf pak, lagi gak ada
uang untuk membeli kaligrafi semewah ini.” Aku mencoba menolak tawarannya
seraya memandangi tulisan kaligrafi kuning keemasan. Berkilau layaknya emas 24
karat. Tulisan surah Al-Waqi’ah dan satunya lagi surah Ar-Rahman. Dua Surah yang
sudah jarang aku baca karena sudah jarang solat duha. Bingkai yang terbuat dari
kayu jati menambah kesan mewah kaligrafinya. Aku tidak berani berbasa- basi
untuk sekedar menawarnya. Karena, aku memang belum mampu membeli kaliragrafi
semewah itu. Pasti harganya mahal. Lagipula mau ditaruh dimana? Kaligrafi itu
pantas untuk dipajang di rumah mewah, kurang cocok dipajang di rumahku yang
sudah lapuk dimakan usia. Dinding dan lantai rumahku terbuat dari papan dengan
atap daun sagu yang sudah mulai bocor jika hujan lebat. Diruang tamu, hanya
potongan kalender foto Kiai Sahal Mahfudz, satu-satunya penghias dinding ruang
tamu.
“Liat-liat dulu lah, siapa tau berminat. Gak beli gak
apa- apa. Disamping itu saya mau numpang
istirahat kalau boleh?” Kata lelaki separuh baya itu seolah ia tau kalau mataku
mulai melirik kaligrafinya.
“Boleh pak, Silahkan duduk.” Aku mempersilahkan lelaki
itu duduk di kursi kayu di teras rumah. Ia duduk seraya menghela nafas.
Tangannya mencari sesuatu kedalam kocek- (saku) celanananya. Sebuah salep.
Dia colek isi batol salep yang kental kuning seperti kue tar, lalu dia gosokkan
ke tumit kakinya yang melepuh. Wajahnya meringis kesakitan ketika salepnya
meresap kedalam.
“Hari ini sudah laku berapa pak?” Tanyaku. Mencoba basa
basi, berusaha tidak memperdulikan dia yang meringis kesakitan .
“Dari tadi pagi masih belum ada yang laku.” Balasnya
santai seraya tersenyum. Nyaris tidak ada kekecewaan di raut wajahnya. Berbeda
dengan pedagang lain atau sales yang biasa aku pernah jumpai. Mereka
sering mengeluh ketika ditanya barang dagangannya. Entah kurang bersyukur atas
nikmat Tuhan atau sekedar strategi dalam pemasaran?
Aku memandangi lelaki penjual kaligrafi itu dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. Kesabaran dan pembawaan nya yang kalem membuat aku
merasa ingin bersimpati padanya. Aku buatkan es teh dan membawakan satu sisir
buah pisang. Tak lupa, aku suguhkan Tajhin Peddhis yang kebetulan
dikirimi oleh tetangga.
Tajhin Peddhis (bubur pedas) atau biasa
disebut juga dengan Tajhin
Sora (bubur Asyura) adalah bubur yang dibuat pada bulan Muharram untuk mengenang peristiwa Asyura. Bulan Muharram atau orang Madura menyebutnya bulen sorah merupakan awal
bulan ditahun Hijriah. Bulan Muharram sangat di
istimewakan dan dimuliakan karena kejadian-kejadian besar banyak terjadi pada bulan ini. Seperti banjir bandang di zaman nabi Nuh
dan peristiwa Karbala. Tajhin Peddhis terbuat dari
beras yang dicampur dengan bahan makanan yang tumbuh
dibumi seperti
kacang, ubi, kacang panjang, kacang ijo dan lain-lain.
“Ayo, silahkan pak. Hanya
ini adanya. Semoga berkenan.” Aku mempersilhakan lelaki itu menikmati yang aku
hidangkan. Lelaki itu merasa senang dan terlihat sedikit sungkan karena
diperlakukan selayaknya tamu. Ia berkali-kali mengucap syukur seraya menikmati
hidangannya.
Perbincangan diantara kami
pun semakin cair, aku menganggap lelaki itu datang bertamu bukan berjualan
barang dagangan. “Saya ikhlas bekerja seperti ini demi anak-anak saya, terutama
perempuan saya yang sebentar lagi Insya Allah akan menjadi Hafizhah (wanita
yang hafal al-qur’an).” Ujar lelaki itu memulai kisah perjalanan hidupnya.
Tapi Ia tidak langsung
nyerocos. Ia diam agak lama. Baru setelah Ia menyeruput es teh nya Ia lanjut
bercerita. “Dulu, saat istri saya sedang hamil anak saya yang ketiga. Saya bermimpi
didatangi oleh almarhum kakek saya. Kata kakek dalam mimpi itu : ‘Kamu akan
memiliki seorang anak perempuan yang hafal al-qur’an. Maka kuatkanlah ikhtiar
mu dalam mencari rezeki. Meskipun kamu orang miskin, tapi kamu tidak boleh
berputus asa. Kamu harus tetap berusaha, apapun rintangannya...,’
“Dan semenjak peristiwa
mimpi itu, saya merasa dititipi amanah. Saya pergi merantau ke daerah ketika
anak perempuanku itu lulus Sekolah Dasar . Saya mondokkan anak perempuan
saya ke sebuah pesantren yang khusus penghafal Al-qur’an di Pasuruan. Sedangkan
kedua kakaknya yang laki-laki saya mondokkan di Gontor. Butuh biaya besar untuk
kebutuhan mereka di pesantren. Tapi saya ikhlas untuk bekerja keras merantau
dari satu kota ke kota lain demi cita-cita mereka..., Kelak kalau mereka sudah
berhasil, saya hanya meminta mereka berguna pada agama-Nya. Itu saja yang saya
harapkan balasan dari mereka.” Tutur lelaki itu, matanya menarawang ke langit
siang yang cerah.
Mataku berkaca-kaca
mendengar perjalanan hidupnya. Kedatangan lelaki itu kerumahku tidak hanya
sekedar menjajakan dagangan kaligrafinya. Atau mencari untung dari karya seni
orang lain. Lelaki itu adalah lelaki pembawa pesan. Ia menyampaikan pesan yang
terkandung dari kaligrafinya, yakni arti perjuangan hidup, kesabaran dan
keikhlasan dalam menjalani peran yang diberikan oleh sang Maha Pemilik Jiwa.
Aku tersadar bahwa kaligrafi itu adalah pesan hidup untuk dihayati dan
diamalkan.
Siang itu, 21 Muharram 1434 H