(Cerpen ini di muat di Harian Borneo Tribune Pontianak) Aku terbangun oleh getaran
dan dengkingan bunyi pesan
singkat dari handphone ku.
Dengan malas tanganku meraba ke bawah selimut, mencari- cari sumber suara
yang mendeking ke telinga itu. Sambil
mengerjap-ngerjapkan mata, aku baca pesan singkat yang dikirim kekasihku nan jauh
di seberang.
“Bangun
bang.., sudah mau masuk waktu sholat subuh.”
Mataku nyalang,
Jariku segera membalasnya.
‘Iya.
Terima kasih sudah membangunkanku say.”
Tanpa merasa bosan kamu terus membangunkan ku lewat sms untuk selalu sholat
subuh tepat waktu. Aku jadi semakin sadar, bahwa aku tidak salah memilih mu.
Meski kedua orang tua kita masih berdebat soal perbedaan etnis dan adat
istiadat diantara kita. Perlahan tapi pasti aku akan tetap berusaha meyakinkan
mereka. Hanyalah doa dan ikhtiar yang kuat sebagai modal utama kita. Semoga
suatu saat nanti kamu membangunkan diriku dari balik selimut ini. Kataku dalam
hati yang sunyi. Entah, apakah ini akan berhasil. Perlahan aku menyingkap
selimut yang membalut tubuhku. Tubuh
yang masih menggigil kedinginan dan sejuta kesejukan yang menulusup masuk menusuk
tulang.
Ditemani cahaya obor sebagai suluh dalam menerangi jalan, aku ayunkan langkah kaki ku untuk
mengambil air
wudhu ke parit yang terletak di depan rumah. Ibuku tampak mengikutiku dari belakang.
Suara adzan subuh berkumandang. Memecah kesunyian di permukiman Relokasi Madani.
Membangunkan jiwa untuk datang memenuhi panggilan Nya. Baju taqwa dan kopiah
cap Tiga Odheng sudah menempel di badanku. Sedikit kutuangkan minyak
arab malaikat subuh ke baju taqwaku, aromanya menyeruak. Membangkitkan kembali gairah
sholat berjamaah yang akhir- akhir ini mulai diserang rasa malas. Waktunya
berangkat ke masjid.
Kudapati seorang muadzin yang baru
saja mengumandangkan suara adzan, Duduk takzim di depan mimbar. Tangan kanannya
memegang microphone, Sementara tangan kirinya sibuk membetulkan sorban putih
yang melingkar dilehernya. Ia mendehem beberapa kali lalu melantukan puji- pujian
kepada kekasihnya. Bait demi bait Ia lantunkan, membuat diriku rindu kepada
kekasih Allah yang sudah lama tak ku ucapkan salam padanya. Huwal habiibbul-ladzi turjaa syafaa’atuhu. likulli haulin minal ahwali muqtahami. (Beliau (Muhammad) adalah kekasih yang
diharapkan safa’atnya dalam segala kesulitan. Dari pada
kesulitan-kesulitan yang mencekik didunia dan akhirat).
Buliran kristal hangat perlahan jatuh meleleh di pipiku.
Terbayang betapa bahagianya, jika kelak mata yang nakal dengan maksiat ini bisa
menatap wajahmu. Tubuh yang berlumuran dosa ini berada dihadapanmu mendengarkan
nasihat- nasihat mu. Aku rindu padamu ya Rasul. Aku memang tak pernah
mengenalmu ya Rasul, aku hanya tau risalah mu lewat lantunan Al-Barzanji di tempat aku mengaji. Namun rasa rindu yang kupunya jauh melebihi
rasa rinduku pada orang – orang tercintaku. Aku
rindu padamu Ya Rasul. Rindu yang hampir tak mampu lagi aku tahan, diantara
tiang- tiang penyangga masjid mu yang agung ini. Ya Rasullah, biarkan saja aku dikeroyok
dengan tuduhan Bid’ah oleh manusia-manusia yang mengaku kaffah itu. Yang jumlah
mereka semakin banyak menguasai ruang-ruang masjid di kotaku. Dan hanya
segelintir orang di kampung-kampung yang masih memujamu di sela- sela adzan dan
iqomah. Di masjid samping kost ku, kini tak lagi kudengar orang Tarheman
(membaca sholawat sebelum masuk waktu subuh, yakni di waktu-waktu imsak).
Karena dianggap mengganggu tidur pagi mereka. Mereka tak lagi terbangun di
waktu subuh, karena lelah bekerja hingga larut malam. Kemajuan kotaku telah
membuat jam ibadah berubah.
Satu
persatu orang berdatangan, sholat sunnah dua rakaat dan duduk bershaf-shaf
membaca Yaa robbi
bil-Mustofa balligh
maqooshidanaa, Waghfirlanaa maamadho yaa waasi’al karomi (Wahai Allah Al Mustofa, sampaikanlah hajad-hajad
kami, Dan ampunilah dosa-dosa kami yang terdahulu wahai yang Maha Luas keDermawanannya). Sholat
subuh ditunaikan dengan penuh khusyuk.
*********
Rasanya
aku baru terlelap sekejap diatas kasur yang keras ketika aku terlonjak oleh
suara ibu kost yang memaki-maki anak kost sebelah lantaran menjemur celana
dalamnya diatas tempayan. Beberapa detik aku duduk termenung. Dimana aku? Ah,
ternyata tadi malam aku sudah kembali ke tempat kostku, bukan lagi di Madani.
Tapi kenapa kekasihku tak lagi membangunkan ku, kirim sms atau miss call
paling tidak? Dia menghilang tanpa kabar. Begitu cepat, secepat waktu subuh
yang tak bisa kukejar hari ini.
Pontianak,
23 Syawal 1432 H
Abdul Hamid*
Pengurus GP Ansor Kota Pontianak