TEMBANG UNTUK KEKASIH - INSPIRASI SYARIAH

Sabtu, 19 Juli 2014

TEMBANG UNTUK KEKASIH



Tembang Untuk Kekasih- Cerpen ini terbit di Harian Borneo Tribune. Oleh : Abdul Hamid
Hari ini keponakanku genap berusia
satu tahun. Aku dan istriku di undang untuk datang lebih awal di acara gunting rambut anak sulungnya, Alif Fikri. Si sulung itu saat ini sedang lucu-lucunya. Alisnya tebal seperti semut beriringan. Hidungnya mancung, jauh berbeda dengan ibunya yang pesek. Dia lahir tepat pada tanggal 17 Rajab tahun lalu. Persalinannya terbilang singkat. Saat itu adikku yang hanya kebelet ingin pergi buang air besar ke toilet kaget bukan kepalang ketika melihat sebuah kepala keluar dari mulut rahimnya. 

Nek Tami, dukun kampung yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami, Teruji keahliannya  dalam membantu proses persalinan adikku. Pengalamannya dalam setiap mendampingi proses persalinan, tetap tak tergantikan meskipun sudah banyak bidan bertaburan membuka praktik di desa kami.
“Bang, bantu kami ngukir buah kelapa di dapur.” Pinta adikku ketika aku sampai di rumah barunya. Aku dan istriku langsung ke dapur  yang baru dia bangun sebulan yang lalu.
Ibuku yang sudah berangkat sejak subuh terlihat sibuk mengikat dedaunan yang terdiri dari tujuh macam dedaunan. Daun ribu-ribu, daun sedingin, daun ati-ati, daun anjung, daun pandan, daun tapak kuda dan daun ruas adalah jenis dedaunan yang biasa digunakan sebagai simbol kemakmuran dalam hidup.
Dua anak gadis yang tidak aku kenal, sedang menghias gelas berisi telur ayam yang sudah di warnai. Sementara adik iparku menyiapkan beras kuning sebagai lambang permohonan keselamatan kepada Sang Khaliq, agar kelak kehidupan anak sulungnya jauh dari bala’.
Waktu duha belum lama pergi. Para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Ada yang langsung masuk dan mengambil tempat duduk di ruang tamu, ada juga yang berdiri di depan pagar menunggu Kiai Mubarok sambil menghabiskan sebatang rokok yang mereka sumut dari rumahnya.
Tepat jam sepuluh Kiai Mubarok datang ditemani seorang lelaki dengan pakaian  yang serba putih. Mulai dari penutup kepala hingga mata cincin di kedua jari manisnya yang putih. Perawakannya tinggi besar. Wajahnya terlihat teduh bercahaya dalam keikhlasan. Senyumnya simetris ketika bersalaman dengan para tamu undangan. Konon, lelaki yang sering  mendampingi Kiai Mubarok itu adalah guru tugas dari salah satu pesantren di daerah Jombang. Pesantren dimana Kiai Mubarok dan almarhum abahnya menimba ilmu agama.
Para tamu undangan yang hadir berduyun-duyun menyalami Kiai Mubarok. Meski sudah diminta untuk duduk, mereka tetap berebut bersalaman dengan Kiai Mubarok yang pagi itu terlihat kharismatik dengan baju gamis mileniumnya.
Setelah para tamu undangan selesai mencicipi hidangan pembuka,  Adik iparku menghadap Kiai Mubarok memberitahukan perihal acara pada pagi hari itu. Tidak ada pembawa acara khusus  yang bertugas untuk membacakan perihal susunan acara layaknya hajatan yang sering aku jumpai di kota- kota besar. Orang-orang kampung tidak terbiasa dengan acara yang masih bertele-tele. Kiai muda itu mangut-mangut kemudian memungut Microphone yang ada di depannya. Dia bertawassul terlebih dahulu, kemudian membuka lembaran kitab Al-Barzanji yang diawali dengan bacaan Abtadi-ul Imlaa-a.
Setelah bacaannya sampai pada bab Wa Ardla’ at-hu Ummuhu kiai Mubarok meminta guru tugasan yang duduk di sebelahnya untuk melanjutkan. Belakangan aku ketahui namanya adalah Muhammad Noor atau akrab di panggil Gus Noor oleh santri-santri Darussalam.
Kedua orang tersebut membaca syair-syair madah Syeikh Jakfar Al-Barzanji dengan gaya vokal yang berbeda-beda. Kiai Mubarok membacanya dengan gaya vokal ala habaib sedang Gus Noor membawakannya seperti membaca sebuah tembang. Tembang untuk kekasih.
Syair-syair Al-Barzanji yang di baca Gus Noor bercerita masa kecil Rasulullah hingga masa penerimaan wahyu dihayati dengan sungguh-sungguh oleh Gus Noor dengan gaya seperti membaca macopat atau menembang.  Orang-orang yang lidahnya tidak terbiasa dengan logat Jawa gagal menjadi “koor” pengiringya. Orang-orang dewasa menahan senyum, sedang anak-anak cekikikan sambil menutup mulutnya.
Pada saat asyaraqalan, dimana semua orang yang hadir berdiri. Alif Fikri keluar dengan ditimang oleh ayahnya, diikuti oleh aku yang membawa perlengkapan barang-barang yang akan dipakai untuk menggunting rambut.
Pemotongan dimulai oleh Kiai Mubarok kemudian berlanjut kepada  tujuh orang undangan yang dituakan atau orang-orang yang dianggap sebagai pemuka masyarakat. Adikku yang mengikuti kami dari belakang bertugas memberikan cindera mata  gelas yang didalamnya berisi telur yang sudah di warnai dengan warna kuning.
Setelah  gunting rambut selesai. Gus Noor menutup rangkaian pembacaan salawat dengan syair

Thala’al Badru ‘Alaina. Min Tsaniyatil Wada’
(Purnama telah terbit di atas kami. Dari arah Lembah  Wada’)
Wajaba syukru ‘alaina
. Ma da’a lillahi da’
(Wajiblah kita mengucap syukur. Dengan doa kepada Allah semata).

Wajah Gus Noor berseri-seri, seperti menyambut kedatagan seseorang yang sangat mulia dengan sebuah tembang. Seluruh tubuhku tiba-tiba merinding mendengar lantunan salawat Gus Noor. Para tamu undangan terlihat khusyu’ membaca salawat yang konon dibaca khusus untuk menyambut Rasulullah saat tiba di Kota Madinah. Anak-anak yang semula cekikikan, terdiam dengan mata menunduk ke lantai. Meskipun aku berdiri dalam keadaan sadar, namun perasaanku seolah-olah seperti berdiri di tengah-tengah kerumunan orang banyak di sebuah padang pasir. Tanah yang aku injak, persis seperti tanah yang didiami suku Aus dan suku Khazraj.
Ditengah kerumunan orang-orang itu aku seperti melihat Gus Noor berbaur dengan kedua suku itu  menyambut kedatangan manusia yang sangat mulia. Gus Noor berada di barisan paling depan. Orang-orang disamping dan di belakangku terus meringsek maju ke depan ketika rombongan orang-orang yang menaiki unta itu mendekat kearah kami. Ketika aku hendak maju kedepan untuk bersalaman dan melihat wajah orang paling mulia itu, tiba-tiba kakiku terasa di injak oleh Salah seorang Suku Khazraj yang tinggi besar. Seketika itu aku tersadar kalau ternyata kakiku di injak oleh Mat Ruki, anak pak kepala dusun Madusari yang kami panggil dengan si gajah bengkak.
Gus Noor sudah selesai membaca salawat. Dan orang-orang disekelilingku sudah duduk kembali. Aku pun segera duduk dengan wajah tersipu malu. Aku menghela nafas seraya berkata di dalam hati : Ya Rab, ini adalah lamunan yang indah.


Bagikan artikel ini

1 komentar

Berkomentar sesuai dengan topik, gunakan Name dan URL jika ingin meninggalkan jejak, link hidup dalam komentar dilarang, melanggar kami hapus