Tembang Untuk Kekasih- Cerpen ini terbit di Harian Borneo Tribune. Oleh : Abdul Hamid
Hari ini keponakanku genap berusia satu tahun. Aku dan istriku di undang untuk datang lebih awal di acara gunting rambut anak sulungnya, Alif Fikri. Si sulung itu saat ini sedang lucu-lucunya. Alisnya tebal seperti semut beriringan. Hidungnya mancung, jauh berbeda dengan ibunya yang pesek. Dia lahir tepat pada tanggal 17 Rajab tahun lalu. Persalinannya terbilang singkat. Saat itu adikku yang hanya kebelet ingin pergi buang air besar ke toilet kaget bukan kepalang ketika melihat sebuah kepala keluar dari mulut rahimnya.
Hari ini keponakanku genap berusia satu tahun. Aku dan istriku di undang untuk datang lebih awal di acara gunting rambut anak sulungnya, Alif Fikri. Si sulung itu saat ini sedang lucu-lucunya. Alisnya tebal seperti semut beriringan. Hidungnya mancung, jauh berbeda dengan ibunya yang pesek. Dia lahir tepat pada tanggal 17 Rajab tahun lalu. Persalinannya terbilang singkat. Saat itu adikku yang hanya kebelet ingin pergi buang air besar ke toilet kaget bukan kepalang ketika melihat sebuah kepala keluar dari mulut rahimnya.
Nek Tami, dukun kampung yang rumahnya
tidak jauh dari rumah kami, Teruji keahliannya
dalam membantu proses persalinan adikku. Pengalamannya dalam setiap
mendampingi proses persalinan, tetap tak tergantikan meskipun sudah banyak
bidan bertaburan membuka praktik di desa kami.
“Bang, bantu kami ngukir buah
kelapa di dapur.” Pinta adikku ketika aku sampai di rumah barunya. Aku dan istriku
langsung ke dapur yang baru dia bangun
sebulan yang lalu.
Ibuku yang sudah berangkat sejak
subuh terlihat sibuk mengikat dedaunan yang terdiri dari tujuh macam dedaunan. Daun ribu-ribu, daun sedingin, daun
ati-ati, daun anjung, daun pandan, daun tapak kuda dan daun ruas adalah jenis
dedaunan yang biasa digunakan sebagai simbol kemakmuran dalam hidup.
Dua
anak gadis yang tidak aku kenal, sedang menghias gelas berisi telur ayam yang
sudah di warnai. Sementara adik iparku menyiapkan beras kuning sebagai lambang
permohonan keselamatan kepada Sang Khaliq, agar kelak kehidupan anak sulungnya jauh dari bala’.
Waktu
duha belum lama pergi. Para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Ada yang
langsung masuk dan mengambil tempat duduk di ruang tamu, ada juga yang berdiri
di depan pagar menunggu Kiai Mubarok sambil menghabiskan sebatang rokok yang
mereka sumut dari rumahnya.
Tepat
jam sepuluh Kiai Mubarok
datang ditemani seorang lelaki dengan pakaian yang
serba putih. Mulai dari penutup kepala hingga mata cincin di kedua jari
manisnya yang putih. Perawakannya tinggi besar. Wajahnya terlihat teduh
bercahaya dalam keikhlasan. Senyumnya simetris ketika bersalaman dengan para
tamu undangan. Konon, lelaki yang sering mendampingi Kiai Mubarok itu adalah guru
tugas dari salah satu pesantren
di daerah Jombang. Pesantren dimana Kiai Mubarok dan almarhum abahnya menimba
ilmu agama.
Para
tamu undangan yang hadir berduyun-duyun menyalami Kiai Mubarok. Meski sudah
diminta untuk duduk, mereka tetap berebut bersalaman dengan Kiai Mubarok yang
pagi itu terlihat kharismatik dengan baju gamis mileniumnya.
Setelah
para tamu undangan selesai mencicipi hidangan pembuka, Adik iparku menghadap Kiai Mubarok
memberitahukan perihal acara pada pagi hari itu.
Tidak ada pembawa acara khusus yang
bertugas untuk membacakan perihal susunan acara layaknya hajatan yang sering
aku jumpai di kota- kota besar. Orang-orang kampung tidak terbiasa dengan acara
yang masih bertele-tele. Kiai muda itu
mangut-mangut kemudian memungut Microphone
yang ada di depannya. Dia bertawassul terlebih dahulu, kemudian membuka
lembaran kitab Al-Barzanji yang diawali dengan bacaan Abtadi-ul Imlaa-a.
Setelah bacaannya sampai pada bab Wa Ardla’ at-hu Ummuhu kiai Mubarok meminta guru tugasan yang duduk
di sebelahnya untuk melanjutkan. Belakangan aku ketahui
namanya adalah Muhammad Noor atau akrab di panggil Gus Noor oleh santri-santri
Darussalam.
Kedua orang tersebut membaca
syair-syair madah Syeikh Jakfar Al-Barzanji dengan gaya vokal yang berbeda-beda. Kiai Mubarok membacanya
dengan gaya vokal ala habaib sedang Gus Noor
membawakannya seperti membaca sebuah tembang. Tembang untuk kekasih.
Syair-syair
Al-Barzanji yang di baca Gus Noor bercerita masa kecil Rasulullah hingga masa
penerimaan wahyu dihayati dengan sungguh-sungguh oleh Gus Noor dengan gaya
seperti membaca macopat atau menembang. Orang-orang
yang lidahnya tidak terbiasa dengan logat
Jawa gagal menjadi “koor” pengiringya. Orang-orang dewasa menahan senyum,
sedang anak-anak cekikikan sambil menutup mulutnya.
Pada saat asyaraqalan, dimana semua orang yang hadir berdiri. Alif
Fikri keluar dengan ditimang oleh ayahnya, diikuti oleh aku yang membawa
perlengkapan barang-barang yang akan dipakai untuk menggunting rambut.
Pemotongan dimulai
oleh Kiai Mubarok kemudian berlanjut kepada
tujuh orang undangan yang dituakan atau orang-orang yang dianggap
sebagai pemuka masyarakat. Adikku yang mengikuti kami dari belakang bertugas
memberikan cindera mata gelas yang
didalamnya berisi telur yang sudah di warnai dengan warna kuning.
Setelah gunting rambut selesai. Gus
Noor menutup rangkaian pembacaan salawat dengan syair
Thala’al
Badru ‘Alaina. Min Tsaniyatil Wada’
(Purnama
telah terbit di atas kami. Dari arah Lembah
Wada’)
Wajaba syukru ‘alaina . Ma da’a lillahi da’
Wajaba syukru ‘alaina . Ma da’a lillahi da’
(Wajiblah kita mengucap syukur.
Dengan doa kepada Allah semata).
Wajah
Gus Noor berseri-seri, seperti menyambut kedatagan seseorang yang sangat mulia
dengan sebuah tembang. Seluruh tubuhku tiba-tiba merinding mendengar lantunan salawat
Gus Noor. Para tamu undangan terlihat khusyu’ membaca salawat yang konon dibaca
khusus untuk menyambut Rasulullah saat tiba di Kota Madinah. Anak-anak yang
semula cekikikan, terdiam dengan mata menunduk ke lantai. Meskipun aku berdiri
dalam keadaan sadar, namun perasaanku seolah-olah seperti berdiri di
tengah-tengah kerumunan orang banyak di sebuah padang pasir. Tanah yang aku
injak, persis seperti tanah yang didiami suku Aus dan suku Khazraj.
Ditengah
kerumunan orang-orang itu aku seperti melihat Gus Noor berbaur dengan kedua
suku itu menyambut kedatangan manusia
yang sangat mulia. Gus Noor berada di barisan paling depan. Orang-orang
disamping dan di belakangku terus meringsek maju ke depan ketika rombongan orang-orang
yang menaiki unta itu mendekat kearah kami. Ketika aku hendak maju kedepan
untuk bersalaman dan melihat wajah orang paling mulia itu, tiba-tiba kakiku
terasa di injak oleh Salah seorang Suku Khazraj yang tinggi besar. Seketika itu
aku tersadar kalau ternyata kakiku di injak oleh Mat Ruki, anak pak kepala
dusun Madusari yang kami panggil dengan si gajah bengkak.
Gus
Noor sudah selesai membaca salawat. Dan orang-orang disekelilingku sudah duduk
kembali. Aku pun segera duduk dengan wajah tersipu malu. Aku menghela nafas
seraya berkata di dalam hati : Ya Rab, ini adalah lamunan yang indah.
Masya Allah, di dunia saja sudah dapat fadilah bersalawat
BalasHapus